Satu lagi karya anak negeri yang akan mengangkat kisah pergelutan hidup anak Indonesia yang jauh dari kemewahan dan pesona dunia. Setelah “Laskar Pelangi” karya Riri Riza yang berhasil mendobrak perfilman Indonesia dengan kelarisannya dalam menceritakan realita hidup anak2 pulau Belitong dalam kesederhanaan keseharian mereka. Sekarang akan segera beredar film berjudul “Jermal”yang hampir sama seperti “Laskar,” kembali mengangkat perjuangan hidup anak2 yang berada di tempat yang jauh dari kesan kebahagiaan yang harusnya dikecap oleh mereka, bahkan bisa dibilang mungkin keadaan dalam film “Jermal” ini lebih miris dari apa yang dihadirkan oleh “Laskar Pelangi” tempo hari. Jermal sendiri adalah kata untuk mengungkapkan sebuah panggung lepas pantai serupa dengan anjungan minyak lepas pantai mini, terdiri dari balok dan papan kayu yang diikat jadi satu dan sebuah gubuk terbuat dari besi di atasnya. Ini adalah tempat bagi para nelayan tinggal sambil mengerjakan pekerjaan harian mereka yaitu menjaring ikan. Serangkaian jaring mengarahkan ikan menuju jermal, ikan2 yang ditangkap biasanya dikumpulkan dalam sebuah jaring besar di bawah jermal.
Produksinya untuk film ini sendiri dilaksanakan di sebuah Jermal asli di perairan Pantai Cermin Sumatera Utara. Dibintangi oleh beberapa aktor kawakan seperti Didi Petet, Yayu Unru, M. Iqbal dan juga layaknya “Laskar,” semua aktor anak-anak bukanlah pemain profesional, melainkan anak-anak yang dipilih dari komunitas lokal. Tim casting harus dengan sabar keluar masuk sekolah, kampung, RT, gang-gang sempit, berbagai jermal, asrama dan pesantren di daerah Medan dan sekitarnya untuk mencari aktor2 cilik potensial untuk tampil disini.Beberapa anak dampingan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan (PKPA) juga dicasting bersama 5000-an anak dan remaja di Sumut. Sampai akhirnya terpilihlah Iqbal S. Manurung, Chairil A. Dalimunthe, Febri Hansah Pulungan sebagai tiga tokoh anak utama Jaya, Gion dan Topan disini. Film “Jermal” ini ditulis oleh tiga penulis naskah yaitu Orlow Seunke yang juga merangkap sebagai Produser, Ravi Bharwani dan Rayya Makarim yang juga bertugas sebagai sutradara bersama Utawa Tresno. Film ini direncanakan segera mengisi jadwal tonton di bioskop2 tanah air mulai tanggal 12 Maret 2009.
Walaupun dihadapkan dengan penolakan ayahnya dan gangguan serta ejekan anak-anak pekerja jermal, Jaya tak mau menyerah pada nasib. Ia melepaskan harapan akan pengakuan ayahnya dan memutuskan untuk mempelajari keterampilan serta sikap yang diperlukan untuk bertahan hidup di atas jermal.
Seiring berjalannya waktu, Jaya berubah menjadi seperti anak-anak jermal yang lain: survivor yang tangguh dan keras. Sementara Johar terpaksa menghadapi dan menerima masa lalunya. Akhirnya, baik Johar maupun Jaya menyadari bahwa mereka terikat oleh masa lalu, dipertemukan di ruang sempit di mana mereka berada, serta terhubung oleh kebenaran yang tak mungkin dihindari.
“Saya tertarik pada film ini karena saya tidak pernah memerankan tipe karakter yang seperti ini sebelumnya: Egois, kejam – benar2 antagonis deh.” Seperti katanya pada The Jakarta Post. “Saya mencoba untuk mengekspresikan karakter ini lebih dominan dari gesturnya daripada dialog. Proses syutingnya pun sendiri termasuk menantang karena sebagian besar dikerjakan ditengah2 lautan luas.” Lanjut aktor senior yang memang sudah tidak diragukan lagi kemampuan aktingnya ini.
Film ini minim dialog karena para tokoh utama terbebani berbagai konflik batin mereka. Mereka tidak mengungkapkan perasaan mereka lewat banyak bahasa, tapi lewat gerak tubuh yang tak terlalu kentara. Ketakmampuan para tokoh mengungkapkan perasaan ini mencuat lewat katakata yang tak terselesaikan atau adanya jeda-jeda canggung di antara dialog. Ini justru membantu membangun ketegangan yang semakin nyata dan intensitas hubungan si ayah dan anak dalam film ini. Musik hanya sebentar-sebentar muncul agar intensitas emosional itu tak terganggu. Suara-suara alami seperti ombak, burung dan lain-lain suara dari kondisi cuaca yang ada digunakan untuk menyuarakan konteks dramatik. Begitulah kira2 gambaran yang coba dihadirkan para pembuat film “Jermal” ini.
Karena jermal adalah latar sosial sungguhan, lokasi ini menyuguhkan kesan otentik dan dapat diterima sebagai kenyataan sehari-hari. Bangunan jermal yang padat dan terkungkung, tertanam dalam di tengah-tengah laut luas melambangkan kisah film ini: seorang laki-laki yang terperangkap dalam hidupnya, terasing secara fisik dan mental, namun dipaksa untuk membuka dirinya akibat pertemuannya dengan anaknya yang belum pernah dilihatnya. Pertemuan itu membuatnya sadar bahwa kehidupan, seperti halnya laut yang tak bisa ditebak, dan kebenaran, seperti halnya masa lalunya, tak bisa ditinggalkan begitu saja.
Foto by : ECCO Films Indonesia
1 komentar:
harus liat tuh
Posting Komentar