Romeo dan juliet di pulau kemarau

on Rabu, 11 Maret 2009

”Romeo dan Juliet”di Pulau Kemarauebagai ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, Palembang tumbuh menjadi kota metropolitan. Apalagi setelah adanya bandara baru Sultan Mahmud Badarudin II, orang semakin mudah datang ke Palembang. Tidak cuma bagi pendatang dalam negeri sebagai wisatawan domestik, tapi juga turis dari mancanegara. Lebih-lebih lagi, bandara itu bertaraf internasional yang telah membuka jalur penerbangan langsung ke Malaysia dan Singapura.

Dengan penduduk 1,5 juta jiwa, Palembang merupakan kota tertua di Indonesia. Ia telah berdiri sejak tahun 683 M dan lebih tua dari Kutai yang oleh sebagian orang diklaim sebagai kota tertua di nusantara. Sebagai bekas pusat kerajaan Sriwijaya dan kesultanan Palembang, kota itu secara administratif diakui pada 1 April 1906.

Yang jelas, Palembang memang kaya potensi wisata, baik budaya maupun alam. Pemkot Palembang memberikan perhatian serius pada bangunan monumental bernilai historis. Sebut saja bangunan ’water tower’ peninggalan Belanda tahun 1931 yang tetap dipertahankan lengkap dengan prasastinya. Setelah direnovasi, bangunan tinggi menjulang itu dipakai sebagai bangunan depan Kantor Balai Kota Palembang. Puncaknya dilengkapi dengan lampu sorot layaknya lampu di menara-menara mercusuar pelabuhan. Setiap malam, lampu sorot itu diputar ke berbagai arah, termasuk sesekali menyorot ke arah Jembatan Ampera yang melintang di atas Sungai Musi.

Keberadaan lampu sorot itu mempertegas keberadaan Kantor Balai Kota Palembang bila dipandang dari rumah makan apung di tepi Sungai Musi.

Sorot lampunya yang ditingkah dengan pijar lampu-lampu listrik penerangan di benteng Kota Besar dan gedung Museum, bagai lukisan cahaya di kelam malam. Pemasangan lampu hias di kerangka jembatan Ampera pun memberikan warna kontras yang indah di malam hari.

Dari dermaga di dekat Jembatan Ampera, pelancong dapat naik perahu menyusuri alur Sungai Musi ke arah muara. Sepanjang pelayaran, kita dapat menyaksikan perkampungan penduduk dengan aktivitas kesehariannya yang dibangun di atas air pinggiran sungai. Ada juga pasar tradisional dan modern bertingkat di tepi pantai Musi.

Di tengah alur sungai, banyak ditambatkan perahu tongkang pengangkut bahan bakar minyak, koral, dan pasir yang selalu mengarungi sungai menuju pabrik semen Baturaja. Di sisi lain, berjejer kapal-kapal yang siap mengangkut hasil pupuk urea dari pabrik pupuk PT Sriwijaya, yang letak pabriknya di pesisir Sungai Musi.

Satu hal yang tak boleh dilewatkan pelancong adalah perwisataan ke Pulau Kemarau dengan naik kapal motor wisata. Anjungan kapal tersebut berhiaskan kepala naga dengan bagian atap yang didesain selayaknya rumah berarsitektur China. Bermula dari Jembatan Ampera, perjalanan berlangsung sekitar 30 menit dan menempuh jarak 13 kilometer ke arah hilir.

***

APA menariknya Pulau Kemarau itu? Selain tempatnya, muatan kisah legendarisnya pun memikat pewisata yang suka berwisata spiritual. Pasalnya, pulau itu menyimpan kisah cinta tragis yang seklasik kisah dari lakon drama ”Romeo dan Yuliet” karya William Shakespeare. Tokoh-tokohnya bukan dua anak muda dari verona Italia melainkan seorang pemuda China bernama Tan Bun An dan pemudi Palembang bernama Siti Fatimah. Orang juga percaya bahwa di pulau itu terdapat kuburan kedua sejoli tersebut.

Tan adalah pemuda dari daratan Tiongkok yang merantau untuk berdagang di Palembang. Dia menjalin kisah kasih dengan Siti Fatimah, putri bangsawan Kesultanan Palembang. Tapi cinta keduanya mendapat banyak tentangan dan harus kandas. Ya, hampir mirip dengan kisah percintaan Romeo dan Yuliet.

Arkian, tatkala Tan telanjur mencintai Siti, dia harus menemui kenyataan bahwa dirinya tak bakal mulus bisa memiliki si buah hati lantaran perbedaan latar belakang etnis. Apalagi pihak Kesultanan Palembang memberikan syarat peminangan berupa emas permata dalam jumlah banyak. Pamrihnya tentu saja agar keduanya batal menikah. Untuk mengabulkan syarat pinangan ini, Tan mengirim pengawalnya kembali pulang ke daratan Tiongkok. Sang pengawal dia utus untuk meminta emas permata ke ibu Tan. Misi yang agak musykil itu nyatanya berhasil. Sebab, sang ibu mengabulkan permintaan anaknya dengan mengirimkan sembilan guci berisi emas permata.

Agar aman dari jarahan para lanun atau perompak, selama pelayaran dari China ke Palembang, timbunan emas permata di dalam guci-guci itu sengaja ditutupi dengan sayur asam. Tapi hal tersebut tidak diberitahukan kepada siapa pun, termasuk kepada sang caraka alias utusan Tan. Sang ibu bahkan mewanti-wanti pengawal tersebut untuk membukanya. Satu kali pun tak diizinkan. Ini yang selanjutnya memunculkan masalah. Ketika sembilan guci itu diserahkan kepada Tan di Palembang, marahlah dia kepada ibunya.

”Mamah (ibu-Red) ini bagaimana, anak minta emas untuk meminang gadis, malah diberi guci berisi sayur asam basi,” ujar Tan emosional.

Dibakar api marah, Tan segera membuangi guci-guci itu ke aliran Sungai Musi. Giliran guci terakhir, ketika akan dilemparkan ke sungai, tubuhnya membentur dinding kapal. Guci itu pecah. Lalu beserta tumpahan sayur asam terlihatlah emas permata yang tersimpan di bagian bawah guci.

Tan sangat menyesali perbuatannya. Tanpa pikir panjang, dia mencebur ke sungai dengan maksud untuk mengambil guci-guci yang telanjur ditenggelamkan. Tapi apa lacur, sejak terjun ke sungai, Tan tidak lagi pernah muncul. Bahkan para pengawalnya pun juga ikut hilang karena tenggelam ketika berusaha menolong Tan.

Tragedi maut yang menimpa Tan didengar oleh Siti Fatimah. Tentu saja itu memukul hati Siti, karena pemuda idaman hatinya hilang di Sungai Musi. Terdorong cinta sehidup semati, akhirnya Siti juga menceburkan diri ke Sungai Musi. Sebelum dia mencebur, sang gadis sempat berucap, ”Manakala nanti saya juga tidak muncul, carilah jasad saya bersama Tan di tanah yang menyembul.”

Setelah tragedi itu, di bagian hilir Sungai Musi menyembul pulau yang kemudian dipopulerkan sebagai Pulau Kemarau. Di atas pulau yang diyakini sebagai kuburan jasad Tan dan Siti itu berdiri klenteng sebagai tempat ibadat orang China yang di dalamnya terdapat altar pemujaan dan terpasang patung Dewa Bumi.

Jadilah Pulau Kemarau itu menjadi tempat wisata spiritual. Banyak orang datang berziarah ke sana, atau hanya sekadar melancong. Makanya pada datang hari raya Imlek dan Cap Go Meh serta Pek Cun, frekuensi pengunjung Pulau Kemarau meningkat tajam.

”Sebenarnya tidak hanya orang China yang sembahayang di sini. Ada juga orang Islam yang berziarah. Bukankah Siti Fatimah itu seorang muslimah?” ujar Linda, juru kunci Pulau Kemarau yang mengaku telah hidup di pulau tersebut bersama orang tuanya sejak usia sembilan tahun.

Menurut perempuan itu, yang terkubur di Pulau Kemarau tidak hanya jasad Tan dan Siti, tapi juga beberapa dayang yang setia mendampingi Siti, serta beberapa pengawal Tan.

Empek-empek Tahan Basi

SUDAH umum diketahui boga wisata khas Palembang adalah empek-empek. Penganan itu bisa dijumpai di mana saja, dari pinggiran jalan hingga hotel berbintang di kota tersebut.

Yang jelas, meskipun kita bisa makan empek-empek di banyak tempat, rasanya kurang afdol berkunjung ke Palembang tanpa menikmati makan khas itu di tempat aslinya.

Pelancong yang menginginkan membawa pulang empek-empek dapat membelinya dari toko-toko penjual oleh-oleh. Apa tidak basi? Cik Nio, pengelola toko Candy di Jl Kapten Rivai Palembang melayani pembelian oleh-oleh empek-empek lengkap dengan kuahnya pada wadah kantong plastik. Dia punya teknik tradisional untuk mengawetkan empek-empek yang merupakan makanan basah. Yakni, dengan cara melumuri empek-empek itu dengan tepung sagu. Dengan cara itu, empek-empek tidak basi sesampainya, misalnya, di Jawa.

Menurut Antok, pemandu wisata dari Nabila Tour Cabang Solo, kemasan empek-empek itu harus segera dibuka dan dibersihkan dengan air agar lumuran tepung sagunya terpisah. Setelah dikukus atau digoreng, penganan itu siap disantap beserta kuahnya. Lebih enak bila dicampuri dengan irisan mentimun kecil-kecil sebagai pelengkap acar.

”Dijamin enak, sedap, dan sip,” puji Antok.

Tentu tidak cuma empek-empek yang jadi boga wisata Palembang. Ada juga kerupuk udang, kerupuk ikan, dan lempok (jenang) durian.

Selain penganan, beragam cenderamata juga bisa jadi buah tangan bagus seperti kain songket (juga yang sudah jadi baju). Ada kain songket berhiaskan tulisan kaligrafi berisi ayat Alquran. Barang itu misalnya bisa diperoleh dari gerai-gerai di sepanjang jalan Ki Gede Ing Suro, Kelurahan Tiga Puluh Ilir Palembang.

”Ini khas Palembang, murah dan dapat ditawar,” ujar Cek (Mbak) Ila, salah seorang Wong Kito perajin tenun songket.

Aneka ragam busana tenun songket juga banyak dijajakan di pasar tradisional dan toko swalayan. Untuk baju yang disebut sebagai hand made exclusive (karya tangan menarik) berharga Rp 250 ribu sampai Rp 300 ribu.

”Ini mahal karena dibuat secara manual,” ujar Maman, penjual baju di Pasar Ilir. Kalau yang printing, tambahnya, harganya cukup Rp 75 ribu sampai Rp 100 ribu.

Terlepas dari banyaknya potensi boga wisata dan cenderamata, Palembang terhitung pandai dalam menjual keunggulan Sungai Musi untuk wisata. Pelancong tidak saja beroleh kemudahan ketika akan melakukan pelayaran di sepanjang alur sungai yang rata-rata memiliki kedalaman sekitar 15 sampai 20 meter itu dengan memakai aneka bentuk fasilitas perahu bermotor.

Selain itu, ada juga restoran apung yang dibangun di tepian Sungai Musi. Untuk mencapai ke restoran apung di seberang, disediakan fasilitas perahu penyeberangan secara gratis untuk pergi pulang. Restoran apung paling populer adalah Legenda. Menu masakan khasnya berupa seafood, serta ada pula pindang tulang sapi. Lezatnya, jangan ditanya.

0 komentar:

Posting Komentar